Manfaat Internet Untuk Mempertahankan Kelangsungan Usaha Kecil – Sore itu, sudah kedua kalinya kami coba untuk mendatangi sebuah tempat makan. Sebut saja “Warung G”. Dan ternyata, hasilnya sama saja. Tutup! Dan di percobaan kedua kali itu, kami baru sadar bahwa ternyata tempat makan itu sudah tutup permanen. Padahal, kami rela untuk menempuh perjalanan yang cukup jauh demi mencapai lokasi tersebut.
Segala banner, dan ornamen khas dari tempat makan tersebut terlihat sudah dilucuti. Di depan bangunannya pun tak ada keterangan apapun kecuali selembar karton bertuliskan “dikontrakkan / over kontrak”.
Harus diakui bahwa setiap kali kami berkunjung, tempat makan dengan menu utama ayam goreng itu tidak pernah terlihat ramai. Karena mungkin selain harganya sedikit diatas rata-rata, lokasinya juga kurang strategis. Walau begitu, saya pribadi menilai bahwa harga yang mereka banderol memang worth it alias sebanding dengan rasa makanan yang ditawarkan.
Setidaknya dari total hanya 5 buah review yang saya baca di Google Maps, semuanya mengatakan hal senada. Sangat disayangkan jika tempat makan seistimewa itu harus berhenti beroperasi.
Tingkat Persaingan Sangat Tinggi
Saya tergolong orang baru di kota Metro Lampung ini. Pada tahun pertama saya tinggal di sini, saya baru menyadari bahwa kegiatan bisnis yang paling banyak dijalankan oleh penduduk adalah berdagang, khususnya di bidang kuliner.
Jalan-jalan utama yang dianggap sebagai lokasi strategis seringkali sudah dihuni oleh banyak pedagang makanan. Sangat banyak. Sehingga, tak sedikit pedagang yang harus menempati lokasi-lokasi yang bukan merupakan jalan utama. Termasuk “Warung G” yang saya sebutkan di awal tadi.
Tingkat persaingan yang sangat tinggi tersebut tentu merupakan sebuah tantangan besar bagi mereka yang berstatus pendatang baru dalam bisnis kuliner. Mengharuskan mereka untuk memutar otak, memikirkan cara agar bisa mendatangkan banyak konsumen.
Jujur saja, saya merasa sedih jika melihat ada tempat usaha yang harus gulung tikar. Di sisi lain, saya selalu berusaha untuk menganalisa, kira-kira faktor apa yang menjadi penyebab jatuhnya bisnis kecil tersebut. Sebagai bahan pembelajaran, mengingat mertua saya sendiri juga merupakan salah satu pelaku usaha kecil di bidang kuliner. Apalagi kedepannya saya pun berencana untuk membangun usaha kecil saya sendiri.
Bertahan di Tengah Persaingan Yang Ketat Bukanlah Perkara Mudah
Saya selalu beranggapan bahwa belajar dari kesalahan orang lain adalah langkah antisipatif untuk menurunkan resiko kegagalan di saat kita sudah terjun langsung. Tentu saja, keadaannya mungkin akan lebih rumit dari yang dibayangkan. Tapi setidaknya, kita sudah punya gambaran besarnya. Dengan harapan agar dapat mempersingkat proses trial & error, sehingga bisa lebih cepat untuk mengerti apa yang harus dilakukan.
Dalam rangka riset kecil-kecilan, saya bersama istri seringkali berwisata kuliner. Tempat-tempat yang sangat ramai atau sangat sepi, seringkali kami jadikan target. Untuk merasakan sendiri apa saja poin plus dan minus yang kira-kira membuat mereka sangat ramai ataupun sangat sepi.
Selain melakukan penilaian dari sudut pandang konsumen, terkadang kami juga mencari referensi dari internet untuk mendapatkan insigth yang lebih luas. Sekaligus juga mencari ide-ide menarik yang sekiranya bisa kami terapkan saat terjun langsung ke dunia usaha kecil nanti.
Semua itu kami lakukan karena kami sadar bahwa mempetahankan sebuah bisnis, walaupun hanya bisnis kecil, bukanlah sebuah perkara yang mudah. Terlebih di wilayah yang tergolong punya tingkat persaingan tinggi.
Apa Yang Sudah Kami Pelajari?
Saya yakin, semua orang yang memutuskan untuk menjalankan bisnis, pasti menginginkan agar bisnisnya itu bisa menjadi asset untuk jangka panjang. Tak terkecuali saya dan istri.
Maka, semangat untuk membangun sebuah bisnis yang solid telah membawa kami untuk mempelajari banyak hal, sembari mengumpulkan modal dan menunggu timing yang tepat. Beruntungnya, kami bisa melakukan beberapa percobaan pada bisnis kecil milik mertua untuk mempraktekkan sebagian ilmu ataupun teori yang kami pelajari.
Berdasarkan apa yang sudah kami pelajari dan praktekkan, beberapa poin yang menurut kami penting agar bisa mempertahankan bisnis skala kecil adalah sebagai berikut:
1. Mencari Lokasi Yang Strategis
Lokasi strategis merupakan sebuah privilege bagi para pelaku usaha. Mereka yang menempati lokasi strategis, akan membutuhkan effort yang jauh lebih sedikit untuk mendatangkan konsumen baru.
Dan seringkali, ia dianggap sebagai salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu usaha. Khususnya bagi sebuah usaha yang mengharuskan adanya interaksi langsung dengan konsumen. Dalam hal ini, bisnis kuliner adalah salah satunya.
Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana sih lokasi strategis yang dimaksud itu? Kita seringkali akan beranggapan bahwa di mana ada banyak orang lalu-lalang, maka di situlah lokasi strategis yang dimaksud. Namun berdasarkan apa yang saya baca, faktor visibilitas juga merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Jadi bukan hanya sekadar bertempat di pinggir jalan utama. Tapi juga bagaimana tempat tersebut bisa mudah terlihat. Sehingga menarik perhatian orang yang lalu-lalang tersebut. Yang tujuannya adalah agar orang-orang sadar akan eksistensi tempat usaha kita.
Karena jika ternyata orang yang lewat tidak menyadari keberadaan kita, bagaimana mereka bisa tertarik untuk coba mendatangi? Semakin banyak yang melihat, maka akan semakin besar pula peluang bagi calon konsumen untuk mendatangi tempat usaha tersebut.
Lokasi memang yang utama, tetapi ini bukanlah sebuah syarat mutlak untuk bisa memenangkan persaingan. Karena perkara lokasi bisa diakali dengan memanfaatkan internet, yang akan saya bahas pada poin nomor 6 nanti.
2. Utamakan Kualitas
Saya teringat pada hari raya lebaran di bulan Mei lalu, malam harinya istri saya berkata bahwa ia ingin makan mie ayam. Kamipun kesulitan untuk mencari penjual mie ayam karena memang saat itu nyaris semua pedagang makanan meliburkan aktivitasnya.
Sampai kemudian kami melihat keramaian, yang ternyata berasal dari sebuah tempat makan yang menjual mie ayam. Tanpa ragu kami juga ikut meramaikannya.
Sayangnya dalam kunjungan tersebut, kami dibuat kecewa. Karena dari segi rasa dan juga kualitas, dalam hal ini kualitas “kesegaran” ayam yang digunakan, ternyata di bawah standar. Yang kemudian membuat kami enggan untuk datang lagi.
Padahal jika seandainya makanan yang mereka sajikan ternyata memiliki kualitas baik, saya yakin pasti sebagian pembeli yang meramaikan saat itu tidak akan ragu untuk menjadi langganan.
Dari sini kami belajar bahwa mendatangkan konsumen baru memang penting. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana untuk membuat konsumen mau datang lagi dan lagi.
3. Pelayanan
Dulu sewaktu di Jogja, saya bersama Arif yang merupakan tetangga kosan, cukup sering membeli ayam geprek sebagai menu makan malam. Anehnya, dia selalu memilih untuk membeli di cabang yang lokasinya lebih jauh.
Padahal, di dekat kosan juga ada cabang ayam geprek di bawah merk franchise yang sama. Dan kalau dilihat-lihat, lokasinya pun lebih strategis. Tapi kenapa justru di sini malah lebih sepi pembeli?
Saya juga ingat betul ketika cabang ayam geprek langganan kami itu sampai harus mengarahkan konsumen untuk berkunjung ke cabang dekat kosan kami. Karena pada malam itu, stok nasi mereka sudah habis.
Di hari lain, rasa penasaran membawa saya untuk coba membeli ayam geprek yang letaknya lebih dekat dengan kosan, tanpa sepengetahuan Arif. Seketika itu pula saya mengerti kenapa cabang ini lebih sepi, dan kenapa selama ini Arif selalu menolak untuk datang ke sini.
Rasa, harga, dan kualitasnya memang sama persis. Tapi pelayanannya? Jauh berbeda! Tak ada senyum yang saya dapatkan dari si penjual. Bahkan ia terkesan ogah untuk melayani saya dan juga konsumen lain.
Kejadian ini serupa dengan apa yang pernah saya baca pada situs customerthink.com. Dalam tulisan berjudul “The Power of a Smile” tersebut, Joe Camirand secara gamblang menyebutkan bahwa dia pernah merasa kapok hingga tidak akan mau datang lagi ke salah satu “warung kopi” yang kebetulan dikunjunginya. Karena pada saat itu, “warung kopi” tersebut tidak memberikannya pelayanan yang ramah.
Beberapa contoh kasus tersebut telah membuktikan bahwa pelayanan yang baik, minimal sebuah senyuman saja, bisa sangat berpengaruh terhadap loyalitas konsumen. Bukan sebuah sikap gila hormat. Tapi konsumen yang tidak mendapatkan pelayanan sepenuh hati, akan merasa bahwa kehadirannya tidak diinginkan.
4. Hindari Perang Harga
Dengan uang 10 ribu rupiah sudah bisa dapat Nasi Padang? Wow! Betapa terkejutnya saya saat pertama kali mengetahui kenyataan itu. Bukan hanya satu, tapi hampir semua Warung Masakan Padang yang saya temui di Kota Metro akan memberikan penawaran yang serupa. Iya, hampir semua.
Ini sih jelas perang harga! Perang harga memang tak terhindarkan di tengah padatnya persaingan. Sebuah jalan pintas yang dipilih demi menarik datangnya konsumen. Cara ini memang efektif untuk mendatangkan banyak konsumen. Tapi, apakah strategi macam ini akan sehat bagi kelangsungan usaha?
“It’s a strange game, that the only way to win is to lose.” -BLACKCURVE.COM
Dikutip dari situs blackcurve.com, disebutkan bahwa pada tahun 2014, di UK pernah terjadi perang harga yang melibatkan produk susu. Dampaknya adalah, pada bulan Desember sendiri saja, setidaknya ada 60 peternak yang harus menyerah pada bisnisnya. Yang mana ini menunjukkan bahwa strategi perang harga bukanlah sebuah solusi untuk jangka panjang. Apalagi bagi pelaku usaha kecil dengan modal terbatas.
Karena dengan ikut masuk dalam kompetisi perang harga, maka itu artinya kita harus “kuat” untuk menerima profit yang lebih sedikit. Dengan memangkas profit demi perang harga, mungkin kita bisa saja membuat jualan laris manis. Tapi dengan profit yang “seret” itu apakah cukup untuk menutupi biaya operasional?
Belum lagi, mungkin akan ada kebutuhan-kebutuhan lain yang harus ditunaikan. Mulai dari kebutuhan pribadi, hingga mungkin cicilan-cicilan untuk melunasi pinjaman modal. Kalau sudah seperti ini, jangankan berpikir untuk berkembang. Untuk bertahan saja mungkin bakal sulit. Apalah artinya produk laris terjual, tapi yang kita dapat hanya rasa lelah saja?
5. Inovasi
Terkadang, kualitas dan juga pelayanan tidak akan cukup untuk menghindari perang harga. Maka, kita perlu memikirkan sebuah cara alternatif yang lebih sehat. Yaitu dengan membuat inovasi.
Tidak perlu yang aneh-aneh! Cukup pikirkan sesuatu yang sekiranya bisa menjadi faktor pembeda dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh kompetitor. Entah itu penamaan, paket penjualan, hingga modifikasi dari produk awal.
6. Manfaatkan Internet
Tidak perlu menjadi ahli teknologi untuk bisa memanfaatkan internet dalam urusan bisnis. Hal sederhana seperti membuat status WhatsApp atau status Facebook saja, sudah merupakan sebuah langkah yang bisa mendukung kegiatan usaha kecil. Sebuah hal yang bahkan ibu-ibu rumah tangga pun bisa melakukannya.
Manfaat internet sendiri bukan hanya sekadar untuk membuat orang datang dan membeli dagangan kita saja. Tapi ada hal lain yang bahkan lebih penting lagi, yaitu branding. Setidaknya dua keuntungan inilah yang bisa dirasakan oleh para pelaku usaha kecil.
Internet Membuat Orang Datang & Membeli
Semakin sedikit orang yang lalu-lalang di depan lapak dagangan kita, maka semakin sedikit pula orang yang akan menyadari akan eksistensi dari bisnis kita. Dan peluang untuk mendapatkan konsumen pun akan semakin kecil. Itulah tantangan terbesar bagi pedagang atau pelaku usaha lain yang tidak menempati lokasi strategis.
“Bagaimana bisa kita mengharapkan orang akan ramai membeli dagangan kita? Sedangkan mereka saja tidak tau keberadaan kita.”
Tapi dengan internet, orang tidak perlu lewat di depan lokasi untuk menyadari eksistensi lapak dagangan kita. Karena dengan melihat status di social media tentang produk dan jasa yang kita tawarkan, orang yang hanya berada di rumah pun jadi bisa tau. Ini membuat kendala lokasi bukan lagi menjadi tembok penghalang bagi mereka yang bisa memanfaatkan internet.
Kelemahan dari melakukan promosi melalui status adalah jumlah orang yang akan melihatnya akan sangat terbatas. Yaitu hanya teman-teman yang kita miliki pada akun social media tersebut. Cara alternatif yang lebih efektif agar promosi bisa dilihat oleh lebih banyak orang adalah dengan membuat posting di grup jual beli, atau dengan membuat iklan di internet.
Lokasi Warung PadaNgeleh milik mertua saya bisa dikatakan tidaklah strategis. Membuat saya tertarik untuk melakukan percobaan dengan mengiklankan salah satu produk makanan yang ada, yaitu tekwan. Hasilnya?
Para pecinta tekwan pun terpancing untuk menanyakan dimana lokasi warungnya. Tidak sedikit pula yang meminta pesanannya diantarkan. Bahkan beberapa orang yang berada di luar Kota Metro juga menaruh perhatian pada promosi tersebut.
Internet Membuat Orang Yang Ragu & Segan Menjadi Ingin
Melalui iklan di social media, brand Burger Bangor mengumumkan bahwa mereka sudah membuka outlet baru yang kebetulan dekat dengan tempat tinggal kami. Kami yang penasaran pun iseng untuk mencari lokasi outlet tersebut. Dan setelah ketemu, kami justru malah ragu untuk mencobanya.
Selain karena outlet-nya tidak sesuai dengan espektasi kami (terlalu kecil untuk sebuah brand fast food / junk food), brand “Burger Bangor” sendiri sangatlah baru di telinga kami. Dan pertimbangan soal “berapa harganya” serta “bagaimana kualitasnya” juga semakin membuat kami segan untuk mampir.
“Kalau dilihat dari tampilan foto produknya sih, kayaknya bakal mahal nih” pikir saya.
Jujur saja, setiap kali saya melihat iklan mereka yang muncul di timeline, saya menjadi “merasa diundang” dan semakin tertarik untuk mencicipi.
Saya bersama istri kemudian semakin yakin untuk mencobanya setelah kami menemukan daftar produk yang mereka jual, lengkap dengan harganya. Yang seketika itu juga menghilangkan pertimbangan soal harga, yang awalnya kami kira bakal sangat mahal. Tentu saja, daftar harga itu kami temukan di akun social media mereka.